Jumat, 21 Maret 2014

SEJARAH TERJADINYA DESA TAJUNGWIDORO

I. ASAL USUL WILAYAH MENGARE
Mengare adalah sebuah wilayah yang terletak di wilayah kecamatan Bungah, daerah ini merupakan pulai kecil dan hamper seluruh wilayahnya merupakan lembah atau tanah “Ngarai”, mungkin dari kata ngarai inilah yang menyebabkan wilayah ini dinamakan “Mengare”. Mengare terdiri dari tiga Desa yaitu : Watuagung, Kramat dan Tajungwidoro. Adapun letaknya di sebelah selatan yang dibatasi oleh wilayah kecamatan Manyar dan sebelah barat berbatasan dengan desa Bedanten dan di sebelah utara dan timur merupakan laut jawa yang merupakan perbatasan selat Madura.
Adapun asal usul kejadiannya merupakan legenda adalah berasal dari seekor ular raksasa yang menurut cerita ular ini berasal dari Solo Jawa Tengah yang jatuh cinta dan ingin melamar putri solo, tetapi sang ptri tidak mau dan lari entah kemana, sang ular terus mencari dengan menelusuri bengawan solo hingga sampai ke muaranyadi laut jawa, setelah berbulan – bulan sang putri tidak di ketemukan ular raksasa tersebut merasa kepayahan dan putus asa, akhirnya berhenti di muara itu dan melingkar bertapa sampai bertahun tahun hingga terendam dan menjadi daratan yang sekarang di kenal dengan sebutan Mengare.

II. ASAL USUL DESA TAJUNGWIDORO
Tajungwidoro merupakan salah satu desa yang berada di Wilayah Mengare, nama Tajungwidoro atau Ujungdoro ini diambil dari petualangan salah seorang tokoh yang menurut cerita dalam babat tanah Mengare bernama Joko Mustopo, Joko Mustopo ini adalah tokoh sakti yang memiliki dua senjata Gongseng kencono dan Caluk Cerancam, kedua senjata ini mempunyai fungsi yang berbeda, tatapi keduanya saling mendukung peran bagi pemiliknya, karena Gongseng Kencono dapat digunakan untuk berjalan di atas air sedangkan Caluk Cerancam bisa membawa pemiliknya terbang.
Konon Caluk Cerancam ini merupakan pemberian dari seorang janda tua yang merupakan gurunya dan sekaligus merupakan ibu angkatnya. Adapun Gongseng Kencono ini berasal dari seekor binatang yaitu babi hutan atau celeng yang direbut oleh Joko Mustopo, karena Joko Mustopo sangat tertarik dengan kesaktian Celeng tersebut yang bisa berjalan di atas air.
Menurut cerita Joko Mustopo sedang berada di muara bengawan solo yang terletak di ujung timur utara wilayah Mengare, ketika iut sedang melihat ada seekor babi lautan yang sedang berjalan di atas air menuju ke arahnya menetang ingin mengajak berperang, Joko Mustopo hamper kewalahan menghadapinya, tetapi pada akhirnya kalung di leher celeng yang berupa Gongseng Kencono itu dapat di rebut dan Babi hutan berlari kea rah barat dan meniggal di pinggir sungai dan konon akhirnya menjadi sebuah batu yang berbentuk Celeng dan daerah ini sekarang dinamakan Watu Celeng.
Setelah ditinggal lari oleh Babi Hutan yang telah dikalahkan tadi, Joko Mustopo merasa lapar dan haus kemudian ia berjalan menelusuri pantai dan menemukan banyak tumbuhan “Doro” yaitu pohon yang tangkai dan rantingnya sedikit berduri tetapi buahnya manis, buah inilah yang dapat menolong Joko Mustopo dari rasa laparnya, kemudian dia berucap “Besok nek ono rejane jaman deso iki tak arani Ujungdoro” sekarang dikenal dengan nama “Tajungwidoro” yang menurut analisa berasal dari “Tanjung wit doro”.
Desa ini sekarang terdapat enam dusun yang masing – masing dusun memiliki sejarah dusun – dusun itu adalah Tanjungsari - sidorukun, dusun Pesisir barat – Dusun Sumber sari, dusun Salafiah dan dusun Sidofajar atau Pesanggraan.
Salah satu sejarah dusun yang unik adalah dusun Sumber Sari, dinamakan Sumber Sari karena di situ terdapat sebuah sumur yang airnya tidak pernah habis walaupun telah diambil oleh seluruh warga desa untuk air minum, konon sumur ini merupakan sumur buatan seorang wali yang diperlakukan tidak adil oleh salah seorang warga. Menurut cerita ada orang lewat dan merasa haus, dan di kampung tersebut ada warga yang memiliki pohon tebu,orang asing itu minta tetapi tidak diberi, malah tebu yang dimilikinya itu dikatakan bukan tebu tetapi pohon perumpung, lalu orang asing itu berucap “Mugo – mugo dadio perumpung temenan” (mudah – mudahan jadi perumpung sungguhan), maka benar pohon tebu itu jadi pohon perumpung. Kemudian orang asing itu dengan tangannya tanpa menggunakan bantuan alat apapun mengali tanah yang berbatu dan akhirnya keluar sumber mata air yang luar biasa jernihnya, sampai sekarang sumur yang kedalamannya hanya kurang lebih 75 cm itu dijadikan suber air minum warga Desa Tajungwidoro.
Narasumber :

Nama : H. Khafid
Umur : 56 Tahun
Jabatan : Tokoh Masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar